Para ahli hukum menyoroti bahwa dokumen yang terdiri dari 53 pasal tersebut dinilai kurang representatif terhadap realitas Suriah, terutama dalam konteks keberagaman etnis dan agama. Konstitusi baru Suriah menuai kritik dari berbagai pakar hukum serta kelompok politik karena berpotensi memperburuk perpecahan dan ketidakstabilan di negara yang masih berkonflik.
Kritik Terhadap Konstitusi Sementara
Tiga bulan pasca tumbangnya pemerintahan mantan Presiden Bashar al-Assad, Presiden Sementara Ahmed al-Sharaa menandatangani deklarasi konstitusional pada hari Kamis. Deklarasi ini ditujukan sebagai konstitusi Suriah selama masa transisi lima tahun.
Al-Sharaa, yang merupakan pemimpin Hayat Tahrir al-Sham dan memimpin serangan terhadap rezim Assad pada Desember 2024, menyatakan bahwa dokumen ini diharapkan menjadi "awal sejarah baru bagi Suriah". Beliau berharap penindasan digantikan keadilan, kehancuran diganti pembangunan, ketidaktahuan diganti pendidikan, serta penyiksaan diganti belas kasihan.
Penolakan dari Pemerintahan Otonom Kurdi
Pemerintahan Otonom yang dipimpin Kurdi di Suriah utara dan timur, yang merupakan otoritas sipil de facto berafiliasi dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dukungan Amerika Serikat dan menguasai sekitar sepertiga wilayah negara, langsung menolak konstitusi ini. Mereka menganggapnya sebagai bentuk pengecualian.
Mereka berpendapat bahwa deklarasi konstitusional tersebut memiliki kerangka kerja dan pasal-pasal yang mirip dengan yang digunakan oleh pemerintah Baath. Partai Baath diketahui berkuasa di Suriah sejak 1963 hingga akhir 2024.
Kesenjangan Representasi Etnis dan Agama
Para ahli hukum menekankan bahwa dokumen dengan 53 pasal ini gagal mencerminkan realitas Suriah secara komprehensif, terutama terkait keberagaman etnis dan agama. Jian Badrakhan, wakil ketua Pusat Studi dan Konsultasi Hukum Kurdi yang berbasis di Jerman, menyatakan bahwa rancangan ini hanya menyebut warga Suriah yang menentang rezim, tanpa membedakan antara Arab, Kurdi, Asyur, dan kelompok etnis lainnya.
Badrakhan menambahkan, Pasal 1 secara eksplisit menggunakan istilah 'Arab' dalam nama negara, yang kontradiktif dengan bahasa inklusif di bagian lain dokumen. Menurut Badrakhan, tidak adanya penyebutan suku Kurdi sebagai kelompok etnis terbesar kedua, serta suku Asyur sebagai salah satu masyarakat adat tertua di Suriah, menunjukkan penolakan terhadap identitas multikultural Suriah.
Definisi Negara dan Agama
Konstitusi mendefinisikan Suriah sebagai republik Arab dan menetapkan bahwa presiden harus beragama Islam. Pengakuan resmi juga dibatasi hanya pada "agama-agama samawi," yang mengacu pada agama Kristen, Islam, dan Yahudi.
Badrakhan menjelaskan bahwa hal ini secara efektif mengabaikan pengakuan terhadap beberapa komunitas agama yang telah lama ada di Suriah, termasuk Yazidi dan Druze. Seiring waktu, ketentuan ini bisa ditafsirkan sebagai upaya mengecualikan sekte Ismailiyah dan Alawi dari pengakuan resmi.
Kekhawatiran Terhadap Kekuasaan Presiden
Menurut CIA World Factbook, warga Arab mencapai 50 persen dari hampir 24 juta penduduk Suriah, sementara warga Alawi, Kurdi, dan Kristen mencakup 35 persen. Sisanya terdiri dari warga Druze, Ismaili, serta kelompok etnis dan agama lainnya.
Terdapat kekhawatiran bahwa konstitusi sementara memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada presiden sementara dan mendorong ideologi Islamis. Perlu diingat, Al-Sharaa dan HTS adalah kelompok Islamis yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat.
Kurangnya Pemisahan Kekuasaan
Sarbast Nabi, profesor filsafat politik di Universitas Koya di Kurdistan Irak, menyatakan bahwa konstitusi mengklaim adanya pemisahan antara cabang-cabang pemerintahan, namun hal ini tidak sesuai dengan kenyataan. Pasal 24 memberikan presiden wewenang untuk menunjuk 20 persen anggota parlemen transisi, menunjukkan kurangnya pemisahan antara cabang eksekutif dan legislatif, dan tidak akan membawa stabilitas di Suriah.
Konstitusi memasukkan klausul tersebut dengan alasan untuk memastikan representasi yang adil dan efisiensi. Anwar al-Bunni, pendiri dan Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Penelitian Hukum Suriah, mengakui bahwa deklarasi konstitusional ini mencakup beberapa ketentuan yang menjanjikan, seperti pembentukan komisi keadilan transisi dan pendirian partai politik, namun tetap ada kekhawatiran besar yang perlu diperhatikan.
Kebutuhan Referendum dan Jaminan Konstitusional
Al-Bunni berpendapat bahwa deklarasi ini melampaui perannya sebagai deklarasi konstitusional dan lebih menyerupai konstitusi mini. Hal ini karena menetapkan nama republik, menunjuk Islam sebagai sumber utama hukum, serta mendefinisikan kekuasaan presiden, yang pada akhirnya melemahkan kehendak rakyat Suriah.
Al-Bunni menyatakan bahwa hal-hal seperti itu seharusnya diputuskan melalui referendum. Menurutnya, semua suku dan komunitas agama menginginkan jaminan konstitusional, sehingga penyusunan konstitusi permanen harus melibatkan diskusi mendalam tentang semua poin dan isu yang ada karena ini hanyalah dokumen sementara.
Harapan PBB
Geir Pedersen, utusan khusus PBB untuk Suriah, dalam pernyataannya pada Jumat (14/3), menyatakan harapan agar deklarasi konstitusional ini dapat mendorong Suriah untuk memulihkan supremasi hukum serta menjalani transisi yang inklusif dan tertib.
Sejak kejatuhan Assad, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya terus menyerukan pemerintahan yang inklusif di Suriah, dengan jaminan perlindungan bagi semua kelompok etnis dan agama di negara itu. Laporan ini bersumber dari VOA Layanan Kurdi.

