![]()  | 
| Masa Depan Rekrutmen SDM | 
TRIBUNPASUNDAN.COM, Jakarta – Di tengah dominasi kecerdasan buatan (AI) dalam proses rekrutmen, laporan dari berbagai sumber global seperti SHRM, CIPD, PwC, McKinsey, dan LinkedIn Talent Solutions menunjukkan adanya tren baru. Banyak perusahaan mulai meninjau ulang atau mengurangi ketergantungan mereka pada AI. Laporan Survei PwC Global Talent Trends (2024-2025) bahkan mengungkap rendahnya kepercayaan kandidat dan profesional HR terhadap rekrutmen yang hanya mengandalkan AI karena dinilai mengabaikan aspek soft skill, nilai-nilai, dan budaya kerja.
AI memang membantu mempercepat tahap awal seleksi, namun laporan SHRM Talent 2025 Sneak Peek mengungkap bahwa meskipun 60% perusahaan menggunakan AI dan menghemat waktu seleksi hingga 30-50%, 42% di antaranya melaporkan penurunan akurasi dalam menemukan kandidat yang benar-benar cocok, terutama dalam menilai soft skill dan kecocokan budaya. Bahkan, studi dari IBM (2025) menemukan bahwa 35% perekrut harus melakukan penyaringan ulang secara manual terhadap hasil AI. Ini menegaskan bahwa AI berfungsi sebagai alat bantu, bukan pengganti penuh HR dalam hal kualitas dan ketepatan rekrutmen.
Masa Depan Rekrutmen SDM Kembali ke Sentuhan Manusia
Susanto, seorang pakar HR dan pengembang sistem asesmen digital di Human Care Consulting (HCC), menjelaskan bahwa fenomena ini menunjukkan peran manusia—khususnya divisi HR—masih sangat vital. "AI mempercepat proses seleksi, sementara manusia memastikan kesuksesan jangka panjang melalui penilaian budaya dan adaptasi. Proses rekrutmen akan menjadi sempurna dengan kombinasi kecerdasan buatan dan sentuhan manusia," jelasnya.
Susanto menyoroti tren global di AS, Eropa, dan Asia, di mana banyak perusahaan mengadopsi pendekatan hybrid dalam rekrutmen. Mereka menggabungkan AI untuk penyaringan awal dan melibatkan manusia pada tahap evaluasi akhir. Model ini terbukti meningkatkan efektivitas seleksi sebesar 25% dan kepuasan perekrut hingga 70%.
"Teknologi dapat menyaring ratusan CV dalam hitungan detik, tetapi siapa yang benar-benar akan bertahan dan berkembang, itu tetap membutuhkan analisis yang tak bisa didigitalkan. Penilaian kecocokan budaya, dinamika tim, dan soft skill seperti empati, kemampuan adaptasi, atau kemampuan belajar adalah wilayah yang sepenuhnya berpusat pada manusia," tambahnya.
Menurut Susanto, HR perlu mereposisi diri dengan mengadopsi paradigma sebagai mitra strategis. HR tidak hanya merekrut, tetapi juga merancang budaya kerja yang adaptif dan selaras dengan visi organisasi. HR menjadi jembatan komunikasi antara manajemen dan karyawan, terutama dalam menjembatani kesenjangan antargenerasi, mulai dari millennial hingga Gen Z, yang membawa cara kerja dan nilai berbeda.
"Organisasi yang mampu mempertahankan talenta terbaik bukanlah yang paling banyak menggunakan teknologi, melainkan yang mampu mengombinasikan teknologi dengan empati, data dengan intuisi, dan efisiensi dengan kepemilikan. AI adalah alat bantu, bukan penentu," kata Susanto. Ia juga menegaskan, dalam lanskap kerja yang makin kompleks, kemampuan membaca data memang penting. Namun, memahami orang di balik data—cara mereka berpikir, beradaptasi, dan bertumbuh—itulah yang membuat organisasi benar-benar unggul. "Dengan AI, HR dapat mempercepat tahap seleksi. Namun, untuk memastikan keberlanjutan dan budaya yang sehat, keputusan akhir tetap harus berbasis pada analisis manusia," pungkasnya.
Tentang Human Care Consulting
Human Care Consulting (HCC) adalah penyedia layanan psikotes daring dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang telah dipercaya oleh ratusan institusi di Indonesia. Dengan pendekatan berbasis data, teknologi, dan jaringan psikolog profesional, HCC membantu perusahaan menemukan, mengembangkan, dan mempertahankan talenta terbaik secara akurat dan relevan.
Kontak:
Email: HCC.CONNECT@HCC.CO.ID
Telepon: +62 811-1720-171
Situs web: http://www.humancareconsulting.com


